Indonesia Harus Tingkatkan Kemampuan Berinovasi
BANDUNG, (PR). – Indonesia perlu meningkatkan kemampuan inovasinya. Indeks inovasi global Indonesia saat ini berada pada peringkat 85 dari 129 negara.
Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Telkom University Indrawati, Ph.D menjelaskan, revolusi industri 4.0 telah mengubah wajah marketing dan manufaktur. Sebagian perusahaan mengalami disrupsi.
Saat ini semua perusahaan menjelma menjadi perusahaan teknologi. Mereka menginvestasikan modalnya untuk teknologi. “Tetapi tidak semua perusahaan yang berinvestasi untuk kemampuan teknologinya menjadi inovatif. Perusahaan lain yang investasinya tidak lebih besar, bisa jadi performa inovasinya lebih baik. Jawabannya ialah kemampuan inovasi,” katanya saat menjadi pembicara pada seminar internasional Sustainable Collaboration in Business, Information and Innovation (SCBTII) dan International Seminar & Conference on Learning Organization (ISCLO) 2019 di Hotel El Royale Bandung, Rabu, 9 Oktober 2019.
Ia menjelaskan, kemampuan inovasi merupakan kemampuan untuk menyerap, beradaptasi, dan mengubah sebuah teknologi menjadi aktivitas operasional, manajerial, dan transaksi yang spesifik untuk menghasilkan produk bernilai yang mendatangkan keuntungan bagi perusahaan.
Menurut Indrawati, ada empat hal yang harus diperhatikan dalam membangun kemampuam inovasi. Pertama, kemampuan pengembangan teknologi. Langkah ini dilakukan melalui proses adaptasi, modifikasi, dan pengembangan teknologi. Kemudian diinternalisasi dan digunakan untuk membuat perubahan teknologi, proses, dan produk.
Kedua, kemampuan operasional untuk menghasilkan produk atau layanan yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Ketiga, kemampuan transaksional yaitu dengan menghasilkan keuntungan dari memangkas biaya-biaya, seperti biaya marketing dan pengiriman. Keempat, kemampuam manajemen. Perusahaan harus bisa membuat operasional yang efektif dan efisien.
Guru Besar ITS Riyanarto Sarno mengatakan, aktivitas manajemen biasanya lebih dinamis. Sehingga seringkali aplikasi-aplikasi yang digunakan tidak bisa mengejar perubahan bisnis proses yang bisa berubah setiap enam bulan sekali.
“Perubahan bisnis proses tidak langsung diikuti perubahan aplikasi. Perlu waktu lebih dari enam bulan untuk mengubah aplikasi,” katanya.
Ia menawarkan service oriented platform sebagai solusi untuk mengintegrasikan berbagai sistem yang digunakan dalam sebuah organisasi.
“Misalnya di kampus ada sistem untuk keuangan, pajak, akademik, kepegawaian, dan lainnya. Kadang-kadang yang mengembangkan sistemnya beda-beda, beda platform, beda bahasa, beda OS jadi susah diintegrasikan,” tuturnya.
Dengan service oriented platform, kata dia, berbagai sistem itu bisa disatukan dalam sebuah platform. Semua perubahan proses bisnis juga bisa dengan cepat dibuat prosedur standarnya.
Manajemen berbasis ICT
Tahun ini merupakan penyelenggaraan SCBTII yang ke-10 bagi SCBTII dan ke-6 untuk ISCLO.
Ketua Penyelenggara SCBTII dan ISCLO 2019 Sri Widiyanesti mengatakan, tahun ini sebanyak 200 penulis terlibat dalam kegiatan ini. Mereka berasal dari Inggris, Jepang, Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
“Kegiatan ini dilakukan untuk meningkatkan kolaborasi antara indusrtri dan akademisi, serta meningkatkan kapasitas dosen melalui publikasi dan paper yang diterbitkan di prosiding yang terindeks Scopus,” katanya.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Telkom University Dodie Tricahyono mengatakan, kegiatan ini sebagai perwujudan visi institusinya yaitu mengedukasi manajemen berbasis ICT. Lewat konferensi ini disajikan perkembangan terbaru konsep-konsep yang berpengaruh pada pendidikan manajemen, baik dalam bisnis, pemerintahan, maupun masyarakat luas.
Ia mengatakan, revolusi industri 4.0 menjadi pembahasan selama empat tahun terakhir. Sudah saatnya, pembahasan revolusi industri ini beranjak ke arah bisnis yang riil. “Apa yang harus dilakukan oleh bisnis, oleh pemerintah dan akademisi, untuk membuat 4.0 itu ada artinya, bukan konsep lagi. Kami ingin berkontribusi ke situ,” katanya.***
Sumber: Pikiran Rakyat