Ratusan Penulis Asing Turut Ramaikan Konferensi Internasional SCBTII ke-10 dan ISCLO ke-7 di Bandung

Ratusan Penulis Asing Turut Ramaikan Konferensi Internasional SCBTII ke-10 dan ISCLO ke-7 di Bandung

TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG – Sebanyak 200 penulis yang berasal dari lima negara di Asia dan Eropa yaitu, Inggris, Jepang, Thailand, Malaysia, dan Indonesia menghadiri seminar internasional Sustainable Collaboration in Business, Information and Innovation (SCBTII) ke-10 dan International Seminar & Conference on Learning Organization (ISCLO) ke-7.

Para penulis yang menjadi peserta seminar yang diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Telkom University (FEB Tel-U), tersebut berlatar belakang sebagai akademisi dan praktisi industri.

Seminar yang mengusung dua tema besar yakni, “Exploring Opportunities, Challenges, and Sustainibility of Digital Economic for Customer Benefit and Business Fairness” serta “Enhancing Organization’s Competitive Advantages Through Knowledge Sharing and Learning Culture in the Era 4.0 Technology”.

Tujuannya selain untuk meningkatkan kolaborasi antara para pelaku industri dan akademisi, tetapi juga meningkatkan kemampuan para tenaga dosen dan peneliti, sehingga dapat menghasilkan sebuah karya ilmiah publikasi internasional yang prosiding terindeks scopus.

Salah satu topik hangat dalam pembahasan di seminar internasional tersebut, adalah bangsa Indonesia perlu meningkatkan kemampuan inovasinya, karena hasil indeks inovasi global Indonesia saat ini berada pada peringkat 85 dari 129 negara.

Dosen FEB Telkom University, Indrawati, Ph.D menjelaskan, revolusi industri 4.0 telah mengubah wajah marketing dan manufaktur.

Sebagian perusahaan mengalami disrupsi. Dimana saat ini semua perusahaan telah menjelma menjadi perusahaan berbasiskan teknologi, dengan menginvestasikan sebagian besar modalnya untuk perkembangan teknologi.

“Meski telah berinvestasi untuk kemampuan teknologinya menjadi lebih inovatif, berdasarkan fakta di lapangan tidak semua perusahaan bisa tiba-tiba menjadi lebih besar atau lebih inovatif, dan perusahaan lain yang justru melakukan investasi tidak lebih besar bisa jadi justru peforma inovasinya lebih baik. Jadi kunci sebenarnya adalah bagaimana kemampuan inovasi yang dilakukan,” ujarnya saat menjadi salah seorang narasumber seminar internasional tersebut di Hotel El Royale Bandung, Jalan Merdeka, Kota Bandung, Kamis (10/10/2019)

Menurutnya, kemampuan inovasi merupakan kemampuan untuk menyerap, beradaptasi, dan mengubah sebuah teknologi menjadi aktivitas operasional, manajerial, dan transaksi yang spesifik untuk menghasilkan produk bernilai, yang mampu mendatangkan keuntungan bagi perusahaan.

Oleh sebab itu, terdapat empat hal yang harus diperhatikan dalam membangun kemampuan inovasi. Pertama, kemampuan pengembangan teknologi.

Langkah ini dilakukan melalui proses adaptasi, modifikasi, dan pengembangan teknologi.

Kemudian diinternalisasi dan digunakan untuk membuat perubahan teknologi, proses, dan produk.

Kedua, kemampuan operasional untuk menghasilkan produk atau layanan yang sesuai dengan kebutuhan konsumen.

Ketiga, kemampuan transaksional yaitu dengan menghasilkan keuntungan dari memangkas biaya-biaya, seperti biaya marketing dan pengiriman.

“Dan terakhir, kemampuan manajemen. Perusahaan harus bisa membuat operasional yang efektif dan efisien,” ucapnya.

Hal senada disampaikan oleh salah seorang Guru Besar ITS, Riyanarto Sarno. Menurutnya, aktivitas manajemen biasanya lebih dinamis.

Sehingga seringkali aplikasi-aplikasi yang digunakan tidak bisa mengejar perubahan proses bisnis yang senantiasa berubah minimal setiap enam bulan sekali.

“Perubahan proses bisnis tidak harus selalu langsung diikuti oleh perubahan aplikasi. Setidaknya perlu waktu lebih dari enam bulan untuk dapat mengubah aplikasi yang dapat berimpilkasi pada proses bisnis,” ujarnya dilokasi yang sama.

Oleh sebab itu, dalam paparannya, dirinya menawarkan service oriented platform sebagai solusi untuk mengintegrasikan berbagai sistem yang digunakan dalam sebuah organisasi.

“Misalnya di kampus ada sistem untuk keuangan, pajak, akademik, kepegawaian, dan lainnya. Kadang-kadang yang mengembangkan sistemnya beda-beda, beda platform, beda bahasa, beda OS jadi susah diintegrasikan. Maka dengan service oriented platform, berbagai sistem itu bisa disatukan dalam sebuah platform. Semua perubahan proses bisnis juga bisa dengan cepat dibuat prosedur standarnya,” ucapnya.

Sementara itu, Dekan FEB Telkom University Dodie Tricahyono, Ph.D. mengatakan, kegiatan ini sebagai perwujudan visi institusinya yaitu mengedukasi manajemen berbasis ICT.

Lewat konferensi ini disajikan perkembangan terbaru konsep-konsep yang berpengaruh pada pendidikan manajemen, baik dalam bisnis, pemerintahan, maupun masyarakat luas.

Ia mengatakan, revolusi industri 4.0 menjadi pembahasan selama empat tahun terakhir. Sudah saatnya, pembahasan revolusi industri ini beranjak ke arah bisnis yang riil.

“Apa yang harus dilakukan oleh bisnis, oleh pemerintah dan akademisi, untuk membuat 4.0 itu ada artinya, bukan konsep lagi. Kami ingin berkontribusi ke arah tersebut. Karena selama ini semua pihak di negara manapun masih meraba dan belum ada patokan pasti terkait upaya yang harus dilakukan dalam menghadapi revolusi industri 4.0,” ujarnya usai kegiatan.

Ia juga berharap, melalui konsep kolaborasi, kerjasama, dan faktor sinergitas lainnya menjadi sangat penting untuk dapat dilakukan, demi terwujudnya keberhasilan bagi semua pihak. (Cipta Permana).

Source: Tribun Jabar