Berbagi Pengalaman UMKM Ala Eropa dan Amerika

Berbagi Pengalaman UMKM Ala Eropa dan Amerika

Reseller baju muslim yang berhasil melanjutkan pendidikan S3 di Belanda Lia Yuldinawati ingin berbagi pengalaman mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang dijalankan di Amerika Serikat dan Eropa.

Berdasarkan hasil traveling-nya selama di New York, Amerika Serikat, pada Desember 2016 lalu ternyata pelaku UMKM di kota tersebut umumnya dilakukan oleh kaum imigran, sedangkan orang Amerika Serikat sendiri lebih banyak berprofesi sebagai pekerja. Para imigran ini biasanya berjualan makanan khas Turki di beberapa spot di jalan New York dan Manhattan. Biasanya, mereka menjalankan kegiatan UMKM tersebut dengan sistem franchise.

Meski umumnya berprofesi sebagai pekerja, namun socialpreneur mereka sudah berjalan dengan baik. Selain bekerja, mereka memiliki usaha sampingan.

“Yang bagus itu, di pinggir Jalan Manhattan dan New York, banyak yang jualan makanan khas Turki tapi konsumennya banyak sampai mengantre dan itu terjadi di setiap sudut kota di Amerika,” katanya ketika berbincang dengan Warta Ekonomi di Bandung, Minggu (26/3/2017).

Regulasi dalam membuat usaha di negeri paman Sam terbilang mudah. Menurutnya, sebelum membuka usaha para pelaku UMKM di sana harus memiliki sertifikasi dari pemerintah setempat. Selain itu, pemerintah di sana membatasi waktu untuk berjualan. Kemudian pelaku UMKM bisa berjualan di tempat lain dengan izin di lokasi tempat berjualan yang baru.

“Makanya di sana itu menjadi bersih, tempat berjualannya pun bagus karena aturannya berjalan,” ujarnya.

Lain halnya dengan pelaku UMKM di Eropa, terutama di Belanda dan Italia. Mereka lebih memilih berbisnis berbasis teknologi seperti produksi perangkat alat berat. Tapi, yang membedakan Eropa dengan negara lain adalah setiap kampus memiliki inkubator bisnis sendiri termasuk booking.com.

“Jadi, ketika bisnisnya semakin maju, si perusahaan tetap berada di lingkungan kampus,” tuturnya.

Di Amerika Serikat dan Eropa sendiri sudah bermunculan pengusaha asal Indonesia yang umumnya bergerak di bisnis online. Jadi, kembali lagi ke startup company berbasis online misalnya ada yang berjualan buku secara online, pembeli buku tinggal men-download langsung bukunya secara digital.

Uniknya, orang Amerika Serikat dan Eropa banyak juga yang menjual produk Indonesia dengan skala UMKM. Orang Indonesia sendiri hanya sebatas pekerja di perusahaan tersebut.

“UMKM asal Indonesia banyak juga di sana, mereka melakukan secara individual misalnya buku online, bisnis kayu, pakaian. Ada juga bisnis makanan Indonesia tapi yang punya orang Amerika,” jelasnya.

Wanita kelahiran 1975 ini menilai kesulitan yang dihadapi pelaku UMKM di AS dan Eropa hampir sama dengan di Indonesia seperti soal funding, kebijakan pemerintah, tetapi mereka memiliki keunggulan budaya, yaitu karakter masyarakat yang tertib.

“Misalnya setiap individu sudah memiliki asuransi dan kesempatan bekerja, perbedaanya starting point-nya saja kalau di kita,” jelasnya.

Pada dasarnya baik di Amerika Serikat maupun Eropa skala bisnisnya sama UMKM cuma mereka sudah terintegrasi artinya sudah berbasis kewilayahan misalnya kulturnya Asia, Eropa, Timur Tengah, dan lainnya. Ia mengatakan bahwa intinya adalah semuanya tergantung dengan kesiapan pelaku UMKM itu sendiri.

Lalu, apa yang bisa diimplementasikan bagi UMKM di Indonesia? Sebernarnya, bisnis UMKM Eropa dan Indonesia sangat jauh berbeda tapi Indonesia memiliki kelebihan dengan keunikan budaya sehingga bisa mengandalkan industri kreatif.

Ia mengatakan bahwa apa yang diterapkan oleh pelaku UMKM di AS dan Eropa semestinya juga bisa diimplementasikan di Indonesia. Contohnya, pelaku UMKM di Eropa sudah memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tentang kegiatan bisnis yang akan dirintis. Artinya, sejak awal mereka sudah membekali diri dengan berbagai macam persiapan seperti sertifikasi, mengikuti kursus keterampilan, himhha mengasuransikan diri sendiri dan bisnis.

“Kalau di Indonesia sendiri perencanaan tata kotanya sendiri sudah tidak jalan, unsur SDM-nya juga belum siap. Misalnya akan memulai bisnis saja orang Indonesia belum siap secara pribadi seperti tidak memiliki pengetahuan untuk memulai,” paparnya.

Lia mengungkapkan program pemerintah seperti Wirausaha Baru (WUB) sudah bagus, tapi memiliki kelemahan karena sebatas mengumpulkan orang. Ia menegaskan bahwa semestinya ada proses seleksi bagi peserta yang akan mendaftar kemudian diberi pelatihan mengenai bisnis yang dirancang untuk pelaku UMKM.

Dikatakan Lia, hal yang paling mudah diimplementasikan oleh pelaku UMKM di Indonesia adalah sertifikasi. Jadi, setiap pelaku UMKM di Indonesia harus mau belajar lebih dan memiliki sertifikasi sehingga menjadi tuan rumah di negara sendiri.

“Adanya koperasi tujuannya memudahkan untuk mendapatkan sertifikasi. Makanya seluk-beluk membangun bisnis kita harus mencari bisnis yang sudah tersertifikasi itu bisnis apa. Apakah kita memiliki kompetensi di bidang itu? Kalau belum punya kang, sekarang bisa nawarin ke badan sertifikasi bahwa kita punya bisnis di bidang apa, sebelum melakukn bisnis juga harus diubah mindset terlebih dahulu,” ungkapnya.

Ia menegaskan pemerintah juga harus memberikan pandangan bisnis yang ada di luar negeri yang akan menyerbu ke Indonesia lewat Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) sehingga mereka tahu seberapa sulit berbisnis di masa yang akan datang.

“Solusinya diberikan sertifikasi yang bisa memperkaya dulu saja sehingga mereka tidak tersingkir,” tegasnya.

Selain itu, dengan modal pengguna media digital terbesar di dunia maka seharusnya Indonesia menjadi produsen tetapi karena tidak meningkatkan pengetahuan dalam menggunakan media digital tersebut akhirnya hanya sebatas konsumen saja.

Lalu modal lainnya,lanjut Lia, usia produktif di Indonesia paling banyak jumlahnya sekitar lebih dari 60 persen. Jadi kalau mau, jiwa enterpreuneur ini harus ditanamkan sejak dini dikalanagan generasi muda dimula dari tingkat SMA, akan lebih optimal lagi jika perbanyak generasi muda masuk ke SMK tapi mereka dipersiapkan sesuai dengan keunggulan daerahnya masing-masing.

“Contoh jangan mendirikan SMK pertanian di Bandung, karena tidak sesuai dengan potensi daerahnya,” katanya.

Di samping itu, harus mengetahui kelemahan diri sendiri, dengan mendalami pengetahuan bisnis maka akan tersertifikasi ketika sudah tersertifikasi bisa meminta bantuan pemerintah agar dipertemukan dengan calon pembeli produk kita.

“Saya pikir, pemerintah akan mudah mempertemukan produsen dengan konsumen setelah kita memiliki sertifikasi,”pungkasnya.

 

Tag: Lia Yuldinawati

Penulis: Rahmat Saepulloh

Editor: Cahyo Prayogo

Sumber : http://wartaekonomi.co.id/berita135458/berbagi-pengalaman-umkm-ala-eropa-dan-amerika.html